Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual
Traficking atau perdagangan anak (yaitu
seseorang yang berumur di bawah 18 tahun) untuk tujuan apapun dan dalam
berbagai bentuknya merupakan persoalan Hak Asasi manusia, khususnya
Hak-hak Anak. Di dalam Konvensi Hak-hak Anak (KHA), ditegaskan bahwa
anak berhak mendapatkan perlindungan dari penculikan, perdaganagn dan
penjualan anak un tuk tujuan atau dalam bentuk apapun (pasal 35).
Konvensi ILO No. 182 mengenai ”Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan bentuk-bentuk Pekerjaan terburuk untuk Anak” yang telah
diratifikasi oelh Indonesia melalui UU No. 1 tahun 2000 memasukkan unsur
perdagangan anak-anak sebagai salah satu pekerjaan terburuk untuk anak
(pasal 3 ayat a).
UNICEF dalam buku panduannya (Hodgkin
& Newell, 1998) mengidentifikasikan berbagai bentuk perdagangan
anak, yaitu perdagangan anak untuk dijadikan buruh, perdagangan anak
(bayi) untuk diadopsi, perdagangan anak untuk tujuan seksual,
perdaganagn organ-organ tubuh anak, dan perdagangan anak untuk
kepentingan konflik bersenjata. Dari berbagai bentuk perdagangan
tersebut, tulisan ini hanya menyoroti persoalan perdagangan anak untuk
tujuan seksual.
Pengertian
Pada Supplementary Convention on the abolition of Slavery, the slave trade, and Institution and Practices Semilar to slavery tahun
1956, perdagangan anak didefinisikan sebagai perpindahan seorang anak
dari suatu pihak ke pihak lain untuk tujuan apapun dengan imbalamn uang
atau penghargaan (Farid, 1999a). sedangkan GAATW (1997) mendefinisikan
perdagangan perempuan sebagai segala kegiatan yang terlibat di dalam
proses rekrutmen dan atau pengiriman seseorang dalam suatu Negara atau
keluar melintasi Negara tersebut untuk bekerja atau melakukan berbagai
pelayanan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan,
penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan posisi yang dominan,
perbudakan disebabkan oleh hutang, penipuan serta berbagai bentuk
pemaksaan.
Menurut Farid (2000) hingga saat ini
belum ada rumusan definisi mengenai trafficking yang bisa diterima
secara universal. Untuk itu, menurutnya perlu ada suatu identifikasi
terhadap unsurunsur trafficking yang dianggap layak terkandung dalam
istilah tersebut yakni recruitment, transportation, consent, forced atau exploitation, dan border. Aspek-aspek tersebut tidak harus digunakan secara bersamaan untuk memenuhi kualifikasi trafficking.
Pada kasus anak, elemen consent tidak diperhitungkan karena mereka tidak mempunyai kapasitas legal untuk bisa memberikan (atau menerima) informed consent. Merupakan
fakta dalam sistem hukum di seluruh dunia bahwa anak, karena umurnya
harus dianggap tidak mampu memberikan persetujuan secara sadar terhadap
berbagai hal yang dianggap membutuhkan kematangan fisik, mental, sosial
dan moral bagi seseorang untuk bisa menentukan pilihannya.
Pada Kongress Dunia Menentang ekploitasi seksual Komersial terhadap Anak yang berlangsung di Stockholm Swedia pada tahun 1996, perdagangan anak diidentifikasikan sebagai salah satu bentuk ekploitasi seksual komersial selain prostitusi dan pornografi anak.
Pada Kongress Dunia Menentang ekploitasi seksual Komersial terhadap Anak yang berlangsung di Stockholm Swedia pada tahun 1996, perdagangan anak diidentifikasikan sebagai salah satu bentuk ekploitasi seksual komersial selain prostitusi dan pornografi anak.
Sehubungan dengan anak yang terpengaruh
oleh situasi perdagangan, seharusnya dipandang ”sebagai seorang korban”,
dan semua langkah yang ditentukan seharusnya menghormati martabat
mereka (anak laki-laki atau perempuan), perlindungan dan dukungan khusus
yang sebaik-baiknya diantara keluarga dan masyarakat (Hodgkin &
Newell, 1998).
Persoalan Internasional
Perdagangan anak untuk tujuan seksual
telah menjadi perhatian berbagai pihak di dunia internationas mengingat
besaran masalahnya tidak sekedar menyangkut wilayah di dalam satu negara
melainkan sudah lintas negara. Sejauh ini sudah bisa ditemukan
laporan-laporan mengenai adanya perdagangan anak lintas negara di
berbagai belahan dunia.
Beberapa kasus misalnya, di Nepal yang
diketahui sebagai negara miskin kelima di dunia, diperkirakan ada
5.000-7.000 anak yang diperdagangankan ke rumah-rumah bordil di india
dengan umur termuda 10 tahun (Schubert, 1999). Sedangkan sumber lain
memperkirakan sekitar 10.000 anak berusia 6-16 tahun (india news dalam
CATW, tanpa tahun). Thailand yang dikenal sebagai surga kaum fedopil
mengingat diperkirakan ada 800,000 anak yang dilacurkan di negara ini
(Jubille Campaign, tanpa tahun) diketahui sebagai daerah tujuan,
pengirim dan daerah transit bagi perdagangan anak ke seluruh dunia
melalui Malaysia, Hngkong, dan Singapore (ECPAT Australia, tanpa tahun).
Sebagai daerah tujuan, anak-anak yang diperdagangankan berasal dari
Kamboja, cina, Laos, Myanmar dan Vietnam (Boonpalla, 1996).
Perdagangan anak untuk tujuan seksual
telah dipandang sebagai persoalan besar yang perlu segera ditangani.
Pemerintahan beberapa negara dan badan-badan international seperti PBB,
organisasi bisnis dan NGO-NGO international telah menunjukkan
keseriusannya. World Tourism organization (WTO) di dalam pertemuannya ke
11 di Kairo dalam salah satu resolusinya menekankan pencelaan dan
kutukannya terhadap wisata seks yang mengorbankan anak-anak.
(Wawasan,3/1/96); KTT angota Asosiasi kejasama Regional negara-negara
Kawasan asia Selatan (SAAC) pada awal tahun 1997 dalam salah satu butir
dari deklarasi yang dihasilkan mendesak dihentikan dan dihapuskannya
sama sekali perdagangan dan pelacuran anak-anak di Asia Selatan
(Kompas,15/5/97); Jalinan kerjasama international anatara badan PBB, NGO
International, pemerintahan dan NGO nasional dari 112 negara telah
turut mensukseskan penyelenggaraan Kongress Dunia Menentang Ekploitasi
seksual Komersil terhadap Anak yang berlangsung di Stocholm – Swedia
pada tahun 1996. melalui kongress ini telah dirumuskan agenda aksi
international yang akan ditindaklanjuti oleh negara peserta dengan
menyusun agenda aksi nasional. Mencermati keterlibatan berbagai kalangan
dan negara yang terlibat, dapat dikatakan kongress ini sebagai tonggak
bagi perjuangan bersama tingkat international untuk menentang ekploitasi
seksual terhadap anak di mana salah satunya menyangkut perdagangan anak
untuk tujuan seksual.
Perdagangan Anak di Indonesia
Di tengah tumbuhnya perjuangan bersama
secara internasional, pertanyaan yang perlu di kemukakan adalah,
bagaimana dengan Indonesia? Sejauh yang diketahui penulis, belum banyak
kalangan yang memberi perhatian, terlebih lagi untuk melaksanakan
program penanganan untuk melakukan pencegahan, perlindungan ataupun
pemulihan bagi anak korban perdagangan untuk tujuan seksual. Hal juga
yang memprihatinkan, sebagaimana yang dinyatakan oleh aktivis ECPAT
bahwa hingga saat ini Indonesia merupakan salah satu dari lima negara
yang belum menyusun agenda aksi nasional untuk menentang eksploitasi
seksual komersial terhadap anak yang merupakan tindak lanjut dari
congress dunia ( kompas, 4/5/99 ). Apakah hal ini disebabkan oleh
sensitivitas kita atas isu tersebut masih rendah ataukah hal tersebut
tidak terjadi di Indonesia?
Berkenaan dengan perdagangan anak untuk
tujuan seksual, fakta–fakta menunjukkan bahwa hal ini telah terjadi.
Kasus–kasus perdagangan anak (dan perempuan) yang terjadi di dalam
wilayah Indonesia ataupun melampaui lintas negara cenderung
dilatarbelakangi oleh penipuan terhadap calon tenaga kerja.
Beberapa kasus perdagangan anak/perempuan
lintas negara misalnya dengan tujuan Malaysia. Menjelang akhir tahun
1993, pihak kepolisian berhasil membongkar sindikat perdagangan
perempuan (korban terbesar adalah anak–anak perempuan) dari Kalimantan
Timur ke Malaysia untuk dijerumuskan ke prostitusi. Para korban dijaga
ketat oleh tangan kanan sindikat yang diperkirakan sudah beroperasi
selama empat tahun (kompas, 23/10/93). Sumber lain memperkirakan ada
enam sindikat perdagangan anak (perempuan) yang telah beroperasi sejak
tahun 1985 dengan korban berumur 14 – 15 tahun (Suara Pembaruan,
23/11/93). Pada tahun 1994, pihak kepolisian kembali berhasil membongkar
sindikat perdagangan dan menggagalkan penyelundupan anak dari sulawesi
ke Malaysia ( lihat Suara Pembaruan, 31/5/94, 5/6/ 94, 15/12/94,
16/12/94 dan 29/12/94). Kasus lain adalah perdagangan perempuan ke Timur
Tengah yang pernah diungkapkan pada tahun 1997 oleh Mien Sugandhi
(Mentri UPW pada saat itu) yang menyatakan adanya ratusan tenaga kerja
wanita di Arab Saudi yang berada dalam prostitusi ( Kompas, 7/2/97).
Pernyataan ini sempat menimbulkan polemik dengan Mentri Tenaga Kerja
yang membantah pernyataan tersebut (Kompas, 15/2/97).
Mengenai kasus perdagangan anak yang
terjadi di dalam wilayah Indonesia, tampaknya sudah terjadi di berbagai
daerah baik lintas desa ke kota, antar kota maupun antar provinsi dengan
menjerat korban dengan tawaran pekerjaan. Sejauh ini, daerah yang
diidentifikasikan sebagai daerah tujuan utama adalah Kepulauan Riau dan
Batam. Lisa anggraini, seorang wartawati yang mendalami persoalan
eksploitasi seksual di Batam memperkirakan bahwa dari sekitar 6.000 para
pekerja seksual komersial yang ada, setengah lebih adalah anak–anak (
Kompas, 12/8/00) Para pengguna anak di wilayah ini berasal dari beberapa
Negara seperti Singapore, Malaysia, Thailand dan sebagainya.
Pada awal 1998, muncul laporan mengenai
adanya 200 ABG (sebagian besar anak–anak) yang disekap dan dijerumuskan
ke prostitusi di Tanjung Balai Karimun Riau (Kompas, 5/2/98). Beberapa
waktu kemudian Polda Jabar berhasil mengungkap sindikat perdagangan anak
ke Batam dan berhasil menyelamatkan 113 ABG yang berasal dari Pulau
Jawa (lihat: Yogya Post, 11/9/98 ; Solopos, 23/9/98 ; Gatra No. 46 Thn.
IV-3 Oktober 1998 ; Tabloid Nova No. 533 / XI – 4 Oktober 1998 ).
Keberhasilan ini diikuti oleh Polsek Ciawi yang berhasil menyelamatkan
23 anak asal Jawa Barat yang diperdagangkan ke Batam dan menangkap dua
pelakunya (Solo Pos, 12/12/98). Penggrebekan pihak keamanan Bengkalis di
Dumai juga berhasil menyelamatkan dua pelajar yang dipaksa melacur. Di
beberapa kota di Jawa Tengah kasus perdagangan anak/ perempuan ke
kepulauan Riau dan Batam juga terjadi. Puluhan TKW asal Jawa Tengah –
terbesar dari Kodya Salatiga dan Semarang – yang dijanjikan akan di
pekerjakan ke Brunei disekap dan dimasukkan ke prostitusi di Tanjung
Pinang (Tabloid Gugat No. 32 / Th I – 2-8 Juli 1999). Sebuah NGO di
medan melaporkan adanya 600 ABG dari ber – bagai Daerah yang disekap di
Dumai ( Kompas, 9/3/00 ). Dari Semarang, Sebuah NGO anak di dalam
laporan penelitiannya mengungkapkan adanya indikasi perdagangan anak
jalanan perempuan ke Batam (Setara,1999) dan hasil monitoring sejak
Januari – Juni 2000 mencatat adanya 10 anak yang diperdagangkan ke
daerah tersebut (Shalahuddin, 2000b).
Menyingung pertanyaan yang diajukan di
atas, setelah melihat fakta – fakta bahwa perdagangan anak untuk tujuan
seksual telah terjadi dan melibatkan banyak korban, maka belum adanya
perhatian dan penanganan atas isu ini diakibatkan oleh masih rendahnya
sensitivitas kita.
Pemalsuan Umur
Adanya perdagangan anak untuk tujuan
seksual tidak hanya dilatari oleh penipuan tenaga kerja saja meski hal
ini tampaknya sangat dominan. Beberapa faktor lain yang bisa
diidentifikasi misalnya penjualan anak oleh orangtuanya sendiri (lihat
misalnya: Suara Karya,8/6/97; Kompas,8/7/97; dan Suara Merdeka,2/5/98)
atau pihak lain kepada pengguna atau mucikari dan penculikan anak yang
kemudian diperdagangkan oleh suatu sindikat. Namun demikian, menarik
untuk mengkaji lebih dalam mengenai anak–anak yang menjadi korban
perdagangan untuk tujuan seksual yang dilatarbelakangi oleh penipuan
tenaga kerja.
Pemahaman umum, seorang calon tenaga
kerja adalah seorang yang dinilai sudah dewasa atau berumur 17 tahun.
Batasan umur ini merujuk pada pendapat umum atas pembuktian kedewasaan
di Indonesia adalah berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Atau batasan
lain adalah seseorang yang pernah menikah. Oleh karena itu keberadaan
anak sebagai calon tenaga kerja diduga kuat telah terjadi pemalsuan
umur. Hal ini sebagaimana terjadi dalam kasus – kasus buruh anak di
berbagai industri.
Seorang mahasiswi sebuah PT di Semarang
sempat melakukan observasi dan investigasi di suatu Kabupaten di Jawa
Tengah yang dikenal sebagai daerah basis pekerja migrant saat ia tengah
melakukan KKN di wilayah itu pada awal tahun 2000. mahasiswa tersebut
menemukan tingginya tingkat pemalsuan umur yang dilakukan oleh perangkat
desa dengan imbalan sejumlah uang agar anak-anak (dominan perempuan)
dapat memiliki KTP sehingga bisa mendaftar sebagai calon tenaga kerja.
Tindakan memalsukan identitas merupakan
pelanggaran hukum yang dapat diancam hukuman 6 tahun penjara (KUHP,
pasal 263 ayat 1) dan merupakan pelanggaran atas hak-hak anak untuk
mendapatkan dan mempertahankan identitasnya (KHA, pasal 7 & 8).
Akibat situasi semacam itu, maka tidaklah
mengherankan bila terungkap kasus-kasus perdagangan untuk tujuan
seksual menjadikan anak-anak sebagai korbannya. Bila didasarkan pada
KTP, dimana umur anak sudah “ dinaikkan “ sebagai orang dewasa,
anak–anak yang menjadi korban bisa luput mendapatkan perlindungan khusus
dari negara di mana ia berada dan negara asalnya.
Mengatasi upaya pemalsuan umur terhadap
anak yang sekaligus sebagai upaya pencegahan agar anak tidak menjadi
korban, hal yang perlu dilakukan salah satunya adalah mengefektifkan
akta kelahiran bagi warganegara dalam berurusan dengan sistem kehidupan
bernegara, seperti dalam pelayanan publik, pelayanan pendidikan,
kesehatan, asuransi, termasuk melamar pekerjaan. Hal ini mengingat bahwa
akta kelahiran memberikan status legal yang sempurna, tidak bisa
dibatalkan kecuali dengan penetapan pengadilan atas keberadaan seseorang
(Farid, 1999b). Hal yang termaktub di dalam akta kelahiran seperti,
nama, tanggal lahir dan orang tua. Pada KHA, pencatatan kelahiran ini
merupakan hak anak untuk mendapatkan dan mempertahankan identitas (pasal
7 & 8). Pencatatan kelahiran memberikan landasan bagi pemenuhan hak
– hak selanjutnya termasuk ketika anak memasuki dewasa. UNICEF menyebut
hal ini sebagai ‘ Hak yang pertama “ ( the first right ).
Dalam kaitannya dengan upaya perlindungan anak, terutama bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (children in need of special protection)
dalam konteks ini adalah korban perdagangan, Farid (1999b) mengemukakan
bahwa pengakuan legal atas identitas anak, terutama atas tanggal
kelahiran anak, akan menjadi unsur yang sangat vital. Seperti kita
ketahui, sebagian besar dari kategori anak yang membutuhkan perlindungan
khusus menetapkan secara definitive batas usia tertentu (misalnya batas
umur minimum di bawah mana anak tidak boleh dijatuhi hukuman mati atau
penjara seumur hidup, batas usia minimum untuk rekruitmen ke dalam
angkatan bersenjata, untuk bekerja dan sebagainya). Tanpa bukti legal
atas tanggal lahirnya akan sulit memberikan perlindungan dalam kerangka
legal formal.
Pada kasus ini misalnya ketika anak-anak
Indonesia korban perdagangan ke negara lain berhasil diselamatkan, guna
memberikan perlindungan legal formal, maka akta kelahiran memberikan
bukti yang bisa ditunjukkan apakah seseorang itu masih berada dalam
batas umur anak atau tidak.
Perlindungan Terhadap Anak
Pada beragam kasus perdagangan anak
sebagian besar mengarah kepada tujuan prostitusi. Tujuan lain yang
mungkin terjadi adalah untuk kepentingan pornografi, pemuasan nafsu
pedofil secara perorangan ataupun yang terorganisir dan tujuan seksual
lainnya yang belum teridentifikasi. Mengorbankan anak untuk tujuan
seksual menorehkan beragam luka pada anak yang menumbuhkan trauma seumur
hidup, menghambat dan mengancam perkembangan fisik, mental dan sosial
anak.
Pada kasus-kasus yang muncul setelah
anak-anak diperdagangkan, mereka mengalami penyekapan, dipaksa masuk
dalam prostitusi, melayani nafsu seksual para orang dewasa, dan
senantiasa mendapatkan tindakan kekerasan dari para mucikari atau
sindikat prostitusi. Paksaan melakukan tindakan seksual dengan
berganti-ganti pasangan menyebabkan anak menjadi rentan untuk terinveksi
penyakit menular seksual atau bahkan HIV / AIDS.
Perlindungan terhadap anak dari korban
perdagangan perlu segera dilakukan. Sayangnya peraturan perundangan yang
ada belum memadai. Di dalam KUHP pasal 297 hanya mengatur perdagangan
perempuan dan anak laki-laki di bawah umur dengan ancaman maksimal 6
tahun penjara. Pada kenyataannya, anak-anak perempuan yang justru lebih
banyak menjadi korban belum terlindungi dalam hukum.
Diratifikasinya KHA dan Konvensi ILO No.
182 serta terlibatnya delegasi Indonesia ke Kongress Dunia Menentang
Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak sepatutnya menjadi factor
pendorong yang kuat untuk melahirkan peraturan perundangan baru yang
memberikan perlindungan terhadap anak dalam perspektif hak-hak anak
serta menjadi factor pendorong lahirnya perhatian dan kepedulian untuk
melakukan berbagai upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan bagi
anak-anak dari perdagangan untuk tujuan seksual atau eksploitasi seksual
dan lebih umum lagi guna memelihara dan memenuhi hak-hak anak.
Catatan Akhir
Perdagangan anak untuk tujuan seksual
telah terjadi di tengah kehidupan kita. Akibat yang ditimbulkan sangat
buruk bagi para korban dan pada perkembangannya bisa berdampak pada
masalah sosial yang lebih luas.
Seandainya saja kita membayangkan bahwa
dari ribuan anak yang telah menjadi korban, salah satunya adalah anak
kita, anggota keluarga atau saudara-saudara kita sendiri, tetapkah kita
berdiam diri?
Pernyataan singkat yang perlu dikemukakan; “ Ayo bergerak, “