Kamis, 15 Maret 2012

Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual

Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual



Traficking atau perdagangan anak (yaitu seseorang yang berumur di bawah 18 tahun) untuk tujuan apapun dan dalam berbagai bentuknya merupakan persoalan Hak Asasi manusia, khususnya Hak-hak Anak. Di dalam Konvensi Hak-hak Anak (KHA), ditegaskan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari penculikan, perdaganagn dan penjualan anak un tuk tujuan atau dalam bentuk apapun (pasal 35). Konvensi ILO No. 182 mengenai ”Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan bentuk-bentuk Pekerjaan terburuk untuk Anak” yang telah diratifikasi oelh Indonesia melalui UU No. 1 tahun 2000 memasukkan unsur perdagangan anak-anak sebagai salah satu pekerjaan terburuk untuk anak (pasal 3 ayat a).
UNICEF dalam buku panduannya (Hodgkin & Newell, 1998) mengidentifikasikan berbagai bentuk perdagangan anak, yaitu perdagangan anak untuk dijadikan buruh, perdagangan anak (bayi) untuk diadopsi, perdagangan anak untuk tujuan seksual, perdaganagn organ-organ tubuh anak, dan perdagangan anak untuk kepentingan konflik bersenjata. Dari berbagai bentuk perdagangan tersebut, tulisan ini hanya menyoroti persoalan perdagangan anak untuk tujuan seksual.

Pengertian

Pada Supplementary Convention on the abolition of Slavery, the slave trade, and Institution and Practices Semilar to slavery tahun 1956, perdagangan anak didefinisikan sebagai perpindahan seorang anak dari suatu pihak ke pihak lain untuk tujuan apapun dengan imbalamn uang atau penghargaan (Farid, 1999a). sedangkan GAATW (1997) mendefinisikan perdagangan perempuan sebagai segala kegiatan yang terlibat di dalam proses rekrutmen dan atau pengiriman seseorang dalam suatu Negara atau keluar melintasi Negara tersebut untuk bekerja atau melakukan berbagai pelayanan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan posisi yang dominan, perbudakan disebabkan oleh hutang, penipuan serta berbagai bentuk pemaksaan.
Menurut Farid (2000) hingga saat ini belum ada rumusan definisi mengenai trafficking yang bisa diterima secara universal. Untuk itu, menurutnya perlu ada suatu identifikasi terhadap unsurunsur trafficking yang dianggap layak terkandung dalam istilah tersebut yakni recruitment, transportation, consent, forced atau exploitation, dan border. Aspek-aspek tersebut tidak harus digunakan secara bersamaan untuk memenuhi kualifikasi trafficking.
Pada kasus anak, elemen consent tidak diperhitungkan karena mereka tidak mempunyai kapasitas legal untuk bisa memberikan (atau menerima) informed consent. Merupakan fakta dalam sistem hukum di seluruh dunia bahwa anak, karena umurnya harus dianggap tidak mampu memberikan persetujuan secara sadar terhadap berbagai hal yang dianggap membutuhkan kematangan fisik, mental, sosial dan moral bagi seseorang untuk bisa menentukan pilihannya.
Pada Kongress Dunia Menentang ekploitasi seksual Komersial terhadap Anak yang berlangsung di Stockholm Swedia pada tahun 1996, perdagangan anak diidentifikasikan sebagai salah satu bentuk ekploitasi seksual komersial selain prostitusi dan pornografi anak.
Sehubungan dengan anak yang terpengaruh oleh situasi perdagangan, seharusnya dipandang ”sebagai seorang korban”, dan semua langkah yang ditentukan seharusnya menghormati martabat mereka (anak laki-laki atau perempuan), perlindungan dan dukungan khusus yang sebaik-baiknya diantara keluarga dan masyarakat (Hodgkin & Newell, 1998).

Persoalan Internasional 

Perdagangan anak untuk tujuan seksual telah menjadi perhatian berbagai pihak di dunia internationas mengingat besaran masalahnya tidak sekedar menyangkut wilayah di dalam satu negara melainkan sudah lintas negara. Sejauh ini sudah bisa ditemukan laporan-laporan mengenai adanya perdagangan anak lintas negara di berbagai belahan dunia.

Beberapa kasus misalnya, di Nepal yang diketahui sebagai negara miskin kelima di dunia, diperkirakan ada 5.000-7.000 anak yang diperdagangankan ke rumah-rumah bordil di india dengan umur termuda 10 tahun (Schubert, 1999). Sedangkan sumber lain memperkirakan sekitar 10.000 anak berusia 6-16 tahun (india news dalam CATW, tanpa tahun). Thailand yang dikenal sebagai surga kaum fedopil mengingat diperkirakan ada 800,000 anak yang dilacurkan di negara ini (Jubille Campaign, tanpa tahun) diketahui sebagai daerah tujuan, pengirim dan daerah transit bagi perdagangan anak ke seluruh dunia melalui Malaysia, Hngkong, dan Singapore (ECPAT Australia, tanpa tahun). Sebagai daerah tujuan, anak-anak yang diperdagangankan berasal dari Kamboja, cina, Laos, Myanmar dan Vietnam (Boonpalla, 1996).

Perdagangan anak untuk tujuan seksual telah dipandang sebagai persoalan besar yang perlu segera ditangani. Pemerintahan beberapa negara dan badan-badan international seperti PBB, organisasi bisnis dan NGO-NGO international telah menunjukkan keseriusannya. World Tourism organization (WTO) di dalam pertemuannya ke 11 di Kairo dalam salah satu resolusinya menekankan pencelaan dan kutukannya terhadap wisata seks yang mengorbankan anak-anak. (Wawasan,3/1/96); KTT angota Asosiasi kejasama Regional negara-negara Kawasan asia Selatan (SAAC) pada awal tahun 1997 dalam salah satu butir dari deklarasi yang dihasilkan mendesak dihentikan dan dihapuskannya sama sekali perdagangan dan pelacuran anak-anak di Asia Selatan (Kompas,15/5/97); Jalinan kerjasama international anatara badan PBB, NGO International, pemerintahan dan NGO nasional dari 112 negara telah turut mensukseskan penyelenggaraan Kongress Dunia Menentang Ekploitasi seksual Komersil terhadap Anak yang berlangsung di Stocholm – Swedia pada tahun 1996. melalui kongress ini telah dirumuskan agenda aksi international yang akan ditindaklanjuti oleh negara peserta dengan menyusun agenda aksi nasional. Mencermati keterlibatan berbagai kalangan dan negara yang terlibat, dapat dikatakan kongress ini sebagai tonggak bagi perjuangan bersama tingkat international untuk menentang ekploitasi seksual terhadap anak di mana salah satunya menyangkut perdagangan anak untuk tujuan seksual.

Perdagangan Anak di Indonesia 

Di tengah tumbuhnya perjuangan bersama secara internasional, pertanyaan yang perlu di kemukakan adalah, bagaimana dengan Indonesia? Sejauh yang diketahui penulis, belum banyak kalangan yang memberi perhatian, terlebih lagi untuk melaksanakan program penanganan untuk melakukan pencegahan, perlindungan ataupun pemulihan bagi anak korban perdagangan untuk tujuan seksual. Hal juga yang memprihatinkan, sebagaimana yang dinyatakan oleh aktivis ECPAT bahwa hingga saat ini Indonesia merupakan salah satu dari lima negara yang belum menyusun agenda aksi nasional untuk menentang eksploitasi seksual komersial terhadap anak yang merupakan tindak lanjut dari congress dunia ( kompas, 4/5/99 ). Apakah hal ini disebabkan oleh sensitivitas kita atas isu tersebut masih rendah ataukah hal tersebut tidak terjadi di Indonesia?

Berkenaan dengan perdagangan anak untuk tujuan seksual, fakta–fakta menunjukkan bahwa hal ini telah terjadi. Kasus–kasus perdagangan anak (dan perempuan) yang terjadi di dalam wilayah Indonesia ataupun melampaui lintas negara cenderung dilatarbelakangi oleh penipuan terhadap calon tenaga kerja.

Beberapa kasus perdagangan anak/perempuan lintas negara misalnya dengan tujuan Malaysia. Menjelang akhir tahun 1993, pihak kepolisian berhasil membongkar sindikat perdagangan perempuan (korban terbesar adalah anak–anak perempuan) dari Kalimantan Timur ke Malaysia untuk dijerumuskan ke prostitusi. Para korban dijaga ketat oleh tangan kanan sindikat yang diperkirakan sudah beroperasi selama empat tahun (kompas, 23/10/93). Sumber lain memperkirakan ada enam sindikat perdagangan anak (perempuan) yang telah beroperasi sejak tahun 1985 dengan korban berumur 14 – 15 tahun (Suara Pembaruan, 23/11/93). Pada tahun 1994, pihak kepolisian kembali berhasil membongkar sindikat perdagangan dan menggagalkan penyelundupan anak dari sulawesi ke Malaysia ( lihat Suara Pembaruan, 31/5/94, 5/6/ 94, 15/12/94, 16/12/94 dan 29/12/94). Kasus lain adalah perdagangan perempuan ke Timur Tengah yang pernah diungkapkan pada tahun 1997 oleh Mien Sugandhi (Mentri UPW pada saat itu) yang menyatakan adanya ratusan tenaga kerja wanita di Arab Saudi yang berada dalam prostitusi ( Kompas, 7/2/97). Pernyataan ini sempat menimbulkan polemik dengan Mentri Tenaga Kerja yang membantah pernyataan tersebut (Kompas, 15/2/97).

Mengenai kasus perdagangan anak yang terjadi di dalam wilayah Indonesia, tampaknya sudah terjadi di berbagai daerah baik lintas desa ke kota, antar kota maupun antar provinsi dengan menjerat korban dengan tawaran pekerjaan. Sejauh ini, daerah yang diidentifikasikan sebagai daerah tujuan utama adalah Kepulauan Riau dan Batam. Lisa anggraini, seorang wartawati yang mendalami persoalan eksploitasi seksual di Batam memperkirakan bahwa dari sekitar 6.000 para pekerja seksual komersial yang ada, setengah lebih adalah anak–anak ( Kompas, 12/8/00) Para pengguna anak di wilayah ini berasal dari beberapa Negara seperti Singapore, Malaysia, Thailand dan sebagainya.

Pada awal 1998, muncul laporan mengenai adanya 200 ABG (sebagian besar anak–anak) yang disekap dan dijerumuskan ke prostitusi di Tanjung Balai Karimun Riau (Kompas, 5/2/98). Beberapa waktu kemudian Polda Jabar berhasil mengungkap sindikat perdagangan anak ke Batam dan berhasil menyelamatkan 113 ABG yang berasal dari Pulau Jawa (lihat: Yogya Post, 11/9/98 ; Solopos, 23/9/98 ; Gatra No. 46 Thn. IV-3 Oktober 1998 ; Tabloid Nova No. 533 / XI – 4 Oktober 1998 ). Keberhasilan ini diikuti oleh Polsek Ciawi yang berhasil menyelamatkan 23 anak asal Jawa Barat yang diperdagangkan ke Batam dan menangkap dua pelakunya (Solo Pos, 12/12/98). Penggrebekan pihak keamanan Bengkalis di Dumai juga berhasil menyelamatkan dua pelajar yang dipaksa melacur. Di beberapa kota di Jawa Tengah kasus perdagangan anak/ perempuan ke kepulauan Riau dan Batam juga terjadi. Puluhan TKW asal Jawa Tengah – terbesar dari Kodya Salatiga dan Semarang – yang dijanjikan akan di pekerjakan ke Brunei disekap dan dimasukkan ke prostitusi di Tanjung Pinang (Tabloid Gugat No. 32 / Th I – 2-8 Juli 1999). Sebuah NGO di medan melaporkan adanya 600 ABG dari ber – bagai Daerah yang disekap di Dumai ( Kompas, 9/3/00 ). Dari Semarang, Sebuah NGO anak di dalam laporan penelitiannya mengungkapkan adanya indikasi perdagangan anak jalanan perempuan ke Batam (Setara,1999) dan hasil monitoring sejak Januari – Juni 2000 mencatat adanya 10 anak yang diperdagangkan ke daerah tersebut (Shalahuddin, 2000b).

Menyingung pertanyaan yang diajukan di atas, setelah melihat fakta – fakta bahwa perdagangan anak untuk tujuan seksual telah terjadi dan melibatkan banyak korban, maka belum adanya perhatian dan penanganan atas isu ini diakibatkan oleh masih rendahnya sensitivitas kita.

Pemalsuan Umur 

Adanya perdagangan anak untuk tujuan seksual tidak hanya dilatari oleh penipuan tenaga kerja saja meski hal ini tampaknya sangat dominan. Beberapa faktor lain yang bisa diidentifikasi misalnya penjualan anak oleh orangtuanya sendiri (lihat misalnya: Suara Karya,8/6/97; Kompas,8/7/97; dan Suara Merdeka,2/5/98) atau pihak lain kepada pengguna atau mucikari dan penculikan anak yang kemudian diperdagangkan oleh suatu sindikat. Namun demikian, menarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai anak–anak yang menjadi korban perdagangan untuk tujuan seksual yang dilatarbelakangi oleh penipuan tenaga kerja.

Pemahaman umum, seorang calon tenaga kerja adalah seorang yang dinilai sudah dewasa atau berumur 17 tahun. Batasan umur ini merujuk pada pendapat umum atas pembuktian kedewasaan di Indonesia adalah berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Atau batasan lain adalah seseorang yang pernah menikah. Oleh karena itu keberadaan anak sebagai calon tenaga kerja diduga kuat telah terjadi pemalsuan umur. Hal ini sebagaimana terjadi dalam kasus – kasus buruh anak di berbagai industri.

Seorang mahasiswi sebuah PT di Semarang sempat melakukan observasi dan investigasi di suatu Kabupaten di Jawa Tengah yang dikenal sebagai daerah basis pekerja migrant saat ia tengah melakukan KKN di wilayah itu pada awal tahun 2000. mahasiswa tersebut menemukan tingginya tingkat pemalsuan umur yang dilakukan oleh perangkat desa dengan imbalan sejumlah uang agar anak-anak (dominan perempuan) dapat memiliki KTP sehingga bisa mendaftar sebagai calon tenaga kerja.

Tindakan memalsukan identitas merupakan pelanggaran hukum yang dapat diancam hukuman 6 tahun penjara (KUHP, pasal 263 ayat 1) dan merupakan pelanggaran atas hak-hak anak untuk mendapatkan dan mempertahankan identitasnya (KHA, pasal 7 & 8).

Akibat situasi semacam itu, maka tidaklah mengherankan bila terungkap kasus-kasus perdagangan untuk tujuan seksual menjadikan anak-anak sebagai korbannya. Bila didasarkan pada KTP, dimana umur anak sudah “ dinaikkan “ sebagai orang dewasa, anak–anak yang menjadi korban bisa luput mendapatkan perlindungan khusus dari negara di mana ia berada dan negara asalnya.

Mengatasi upaya pemalsuan umur terhadap anak yang sekaligus sebagai upaya pencegahan agar anak tidak menjadi korban, hal yang perlu dilakukan salah satunya adalah mengefektifkan akta kelahiran bagi warganegara dalam berurusan dengan sistem kehidupan bernegara, seperti dalam pelayanan publik, pelayanan pendidikan, kesehatan, asuransi, termasuk melamar pekerjaan. Hal ini mengingat bahwa akta kelahiran memberikan status legal yang sempurna, tidak bisa dibatalkan kecuali dengan penetapan pengadilan atas keberadaan seseorang (Farid, 1999b). Hal yang termaktub di dalam akta kelahiran seperti, nama, tanggal lahir dan orang tua. Pada KHA, pencatatan kelahiran ini merupakan hak anak untuk mendapatkan dan mempertahankan identitas (pasal 7 & 8). Pencatatan kelahiran memberikan landasan bagi pemenuhan hak – hak selanjutnya termasuk ketika anak memasuki dewasa. UNICEF menyebut hal ini sebagai ‘ Hak yang pertama “ ( the first right ).

Dalam kaitannya dengan upaya perlindungan anak, terutama bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (children in need of special protection) dalam konteks ini adalah korban perdagangan, Farid (1999b) mengemukakan bahwa pengakuan legal atas identitas anak, terutama atas tanggal kelahiran anak, akan menjadi unsur yang sangat vital. Seperti kita ketahui, sebagian besar dari kategori anak yang membutuhkan perlindungan khusus menetapkan secara definitive batas usia tertentu (misalnya batas umur minimum di bawah mana anak tidak boleh dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup, batas usia minimum untuk rekruitmen ke dalam angkatan bersenjata, untuk bekerja dan sebagainya). Tanpa bukti legal atas tanggal lahirnya akan sulit memberikan perlindungan dalam kerangka legal formal.

Pada kasus ini misalnya ketika anak-anak Indonesia korban perdagangan ke negara lain berhasil diselamatkan, guna memberikan perlindungan legal formal, maka akta kelahiran memberikan bukti yang bisa ditunjukkan apakah seseorang itu masih berada dalam batas umur anak atau tidak.

Perlindungan Terhadap Anak

Pada beragam kasus perdagangan anak sebagian besar mengarah kepada tujuan prostitusi. Tujuan lain yang mungkin terjadi adalah untuk kepentingan pornografi, pemuasan nafsu pedofil secara perorangan ataupun yang terorganisir dan tujuan seksual lainnya yang belum teridentifikasi. Mengorbankan anak untuk tujuan seksual menorehkan beragam luka pada anak yang menumbuhkan trauma seumur hidup, menghambat dan mengancam perkembangan fisik, mental dan sosial anak.

Pada kasus-kasus yang muncul setelah anak-anak diperdagangkan, mereka mengalami penyekapan, dipaksa masuk dalam prostitusi, melayani nafsu seksual para orang dewasa, dan senantiasa mendapatkan tindakan kekerasan dari para mucikari atau sindikat prostitusi. Paksaan melakukan tindakan seksual dengan berganti-ganti pasangan menyebabkan anak menjadi rentan untuk terinveksi penyakit menular seksual atau bahkan HIV / AIDS.

Perlindungan terhadap anak dari korban perdagangan perlu segera dilakukan. Sayangnya peraturan perundangan yang ada belum memadai. Di dalam KUHP pasal 297 hanya mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara. Pada kenyataannya, anak-anak perempuan yang justru lebih banyak menjadi korban belum terlindungi dalam hukum.

Diratifikasinya KHA dan Konvensi ILO No. 182 serta terlibatnya delegasi Indonesia ke Kongress Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak sepatutnya menjadi factor pendorong yang kuat untuk melahirkan peraturan perundangan baru yang memberikan perlindungan terhadap anak dalam perspektif hak-hak anak serta menjadi factor pendorong lahirnya perhatian dan kepedulian untuk melakukan berbagai upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan bagi anak-anak dari perdagangan untuk tujuan seksual atau eksploitasi seksual dan lebih umum lagi guna memelihara dan memenuhi hak-hak anak.

Catatan Akhir

Perdagangan anak untuk tujuan seksual telah terjadi di tengah kehidupan kita. Akibat yang ditimbulkan sangat buruk bagi para korban dan pada perkembangannya bisa berdampak pada masalah sosial yang lebih luas.

Seandainya saja kita membayangkan bahwa dari ribuan anak yang telah menjadi korban, salah satunya adalah anak kita, anggota keluarga atau saudara-saudara kita sendiri, tetapkah kita berdiam diri?
Pernyataan singkat yang perlu dikemukakan; “ Ayo bergerak, “


Tidak ada komentar:

Posting Komentar